Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Artikel: Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia tidak terlepas dari kompetisi, konflik dan aliansi, baik antara orang-orang pribumi dengan sesama pribumi, orang pribumi dengan bangsa asing (Barat), maupun antara bangsa Barat dengan bangsa Barat lain. Sebelum VOC didirikan, bangsa Belanda telah terlibat konflik melawan portugis (1600). Persaingan antara Ternate dan Tidore membuat mereka terjebak dalam kompetisi dan konflik yang silih berganti, bahkan sempat melibatkan bangsa asing (Barat) sampai akhirnya jatuh ke tangan Belanda. VOC yang didirikan Belanda pada tahun 1602 berhasil melancarkan ekspansi politik dan ekonominya ketika compagnie ini secara mampu memanfaatkan kompetisi dan konflik antar kerajaan-kerajaan lokal serta konflik internal dalam kerajaan-kerajaan lokal. Sebagai contoh:
- Ketika Sultan Agung dari mataram gagal mengusir VOC dari Jakarta, secara perlahan dan pasti
compagnie itu terlibat dalam persoalan intern Mataram (beberapa korban ekspansi Sultan Agung
berpaling kepada VOC untuk meminta bantuan dengan imbalan berbagai jenis konsesi).
- Ketika terjadi kompetisi dan konflik terbuka antar Gowa dan Bone, VOC berhasil
memanfaatkannya, sehingga Makasar yang merupakan salah satu Bandar utama di wilayah timur
berhasil diambilalih.
Dua abad sejarah VOC di kepulauan Indonesia telah berhasil membentuk (membangun) sebuah tradisi yang kemudian menjadi simbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat atas ngeri-negeri di Asia dan Afrika.
Akhir abad ke-18 VOC secara perlahan mengalami kehancuran sebelum akhirnya dibubarkan secara resmi sejak tanggal 31 desember 1799. Adapun faktor-faktor penyebab runtuhnya VOC adalah:
- Keuangan VOC yang menipis karena korupsi dan biaya perang
- Tidak mampu bersaing dengan organisasi dagang lain, terutama EIC
- Banyak prajurit VOC yang gugur dalam menghadapi perlawanan rakyat
- Banyak pegawai VOC yang kurang cakap sehingga monopoli kurang terkendali
- Keserakahan VOC membuat penguasa lokal tidak mendukung monopoli
Memasuki abad ke-19 (tahun 1800), Indonesia menjadi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian mengangkat Gubernur untuk melaksanakan kekuasaannya:
a. Dirk van Hugendrop (1799 - 1808)
- Mengusulkan pengaturan kembali kedudukan bupati dan penguasa daerah lainnya, pemilikan
(penguasaan) tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat.
- Rakyat diberi tanah untuk ditanami secara bebas (bebas memilih jenis tanaman, bebas
menyalurkan, dan bebas melakukan pekerjaan)
- Diadakan pajak hasil bumi dan uang kepala, sebagai pengganti penyerahan wajib (verplichte
leverantie)
b. Herman Willem Daendels (1808 - 1811)
- Mempunyai tugas utama: mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
- Tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugasnya:
1. Membangun jalan raya Anyer sampai Panarukan (1000 km)
2. Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya
3. Membentuk pasukan (militer) yang kuat
4. Membangun pangkalan angkatan laut
- Penggalian dana yang dilakukan Daendels untuk mendukung tugasnya dilakukan melalui:
1. Contingenten: pajak hasil bumi
2. Verplichte Leveranntie: penyerahan wajib (berupa hasil bumi)
c. Jansens
Ketika Daendels digantikan oleh Jansens, Inggris sudah mempersiapkan diri untuk menguasai
Indonesia dan Jansens tidak mampu bertahan, sehingga Indonesia jatuh ke tangan Inggris
(Perjanjian Tuntang)
d. Thomas Stamford Raffles (1811 - 1816)
- Menerapkan kebijakan baru yang disebut Landrent-system (sistem pajak tanah), upaya ini
ternyata gagal karena tidak adanya dukungan dari para bupati (pemerintah secara langsung
mengawasi tanah-tanah, hasilnya dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati)
serta belum dikenalnya system ekonomi uang dalam masyarakat pedesaan Indonesia
- Menemukan bunga Rafflesia arnoldi, perintis 'Kebun Raya Bogor' dan penulis buku
'History of Java'
e. Johanes van den Bosch
- Mengusulkan sistem Tanam paksa (cultuurstelsel) 'sistim budidaya tanaman (tertentu)',
dilaksanakan dalam upaya menyelamatkan keuangan Belanda yang defisit akibat perang
Diponegoro
- Meskipun aturan Tanam paksa sudah dibuat bagus, tetapi tetap terjadi penyimpangan, terutama
karena adanya cultuurprocenten (pemberian bonus bagi penyetor yang mampu melebihi target)
Para tokoh penentang Tanam paksa adalah:
1. Baron van Hoevell; pendeta yang menjadi anggota parlemen Belanda
2. E.F.E Douwes Dekker; menulis buku 'Max Havelaar'
3. Fransen van der Pute; menulis 'Zuicker Contracten'
- Tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, mulai dari lada (1860), kemudian teh dan
nila (1865), akhirnya hampir semua jenis tanaman (1870), kecuali tanaman kopi di Priangan.
Setelah dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan baru (kebijakan politik liberal) yang lebih dikenal dengan 'Politik Pintu Terbuka', membuka kesempatan pada piak swasta (asing) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang bertujuan untuk melindungi hak milik petani atas tanahnya. Adapun isi pokok UU Agraria Tahun 1870 adalah:
- Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah milik pemerintah (dapat disewa max 75 tahun)
- Tanah milik pemerintahan antara lain: hutan yang belum dibuka, tanah milik adat, dan lainnya.
- Tanah milik penduduk, semua sawah, ladang dan sejenisnya (dapat disewa pengusaha swasta
selama 5 tahun).
Artikel: Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia tidak terlepas dari kompetisi, konflik dan aliansi, baik antara orang-orang pribumi dengan sesama pribumi, orang pribumi dengan bangsa asing (Barat), maupun antara bangsa Barat dengan bangsa Barat lain. Sebelum VOC didirikan, bangsa Belanda telah terlibat konflik melawan portugis (1600). Persaingan antara Ternate dan Tidore membuat mereka terjebak dalam kompetisi dan konflik yang silih berganti, bahkan sempat melibatkan bangsa asing (Barat) sampai akhirnya jatuh ke tangan Belanda. VOC yang didirikan Belanda pada tahun 1602 berhasil melancarkan ekspansi politik dan ekonominya ketika compagnie ini secara mampu memanfaatkan kompetisi dan konflik antar kerajaan-kerajaan lokal serta konflik internal dalam kerajaan-kerajaan lokal. Sebagai contoh:
- Ketika Sultan Agung dari mataram gagal mengusir VOC dari Jakarta, secara perlahan dan pasti
compagnie itu terlibat dalam persoalan intern Mataram (beberapa korban ekspansi Sultan Agung
berpaling kepada VOC untuk meminta bantuan dengan imbalan berbagai jenis konsesi).
- Ketika terjadi kompetisi dan konflik terbuka antar Gowa dan Bone, VOC berhasil
memanfaatkannya, sehingga Makasar yang merupakan salah satu Bandar utama di wilayah timur
berhasil diambilalih.
Dua abad sejarah VOC di kepulauan Indonesia telah berhasil membentuk (membangun) sebuah tradisi yang kemudian menjadi simbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat atas ngeri-negeri di Asia dan Afrika.
Akhir abad ke-18 VOC secara perlahan mengalami kehancuran sebelum akhirnya dibubarkan secara resmi sejak tanggal 31 desember 1799. Adapun faktor-faktor penyebab runtuhnya VOC adalah:
- Keuangan VOC yang menipis karena korupsi dan biaya perang
- Tidak mampu bersaing dengan organisasi dagang lain, terutama EIC
- Banyak prajurit VOC yang gugur dalam menghadapi perlawanan rakyat
- Banyak pegawai VOC yang kurang cakap sehingga monopoli kurang terkendali
- Keserakahan VOC membuat penguasa lokal tidak mendukung monopoli
Memasuki abad ke-19 (tahun 1800), Indonesia menjadi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian mengangkat Gubernur untuk melaksanakan kekuasaannya:
a. Dirk van Hugendrop (1799 - 1808)
- Mengusulkan pengaturan kembali kedudukan bupati dan penguasa daerah lainnya, pemilikan
(penguasaan) tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan kepada rakyat.
- Rakyat diberi tanah untuk ditanami secara bebas (bebas memilih jenis tanaman, bebas
menyalurkan, dan bebas melakukan pekerjaan)
- Diadakan pajak hasil bumi dan uang kepala, sebagai pengganti penyerahan wajib (verplichte
leverantie)
b. Herman Willem Daendels (1808 - 1811)
- Mempunyai tugas utama: mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris
- Tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugasnya:
1. Membangun jalan raya Anyer sampai Panarukan (1000 km)
2. Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya
3. Membentuk pasukan (militer) yang kuat
4. Membangun pangkalan angkatan laut
- Penggalian dana yang dilakukan Daendels untuk mendukung tugasnya dilakukan melalui:
1. Contingenten: pajak hasil bumi
2. Verplichte Leveranntie: penyerahan wajib (berupa hasil bumi)
c. Jansens
Ketika Daendels digantikan oleh Jansens, Inggris sudah mempersiapkan diri untuk menguasai
Indonesia dan Jansens tidak mampu bertahan, sehingga Indonesia jatuh ke tangan Inggris
(Perjanjian Tuntang)
d. Thomas Stamford Raffles (1811 - 1816)
- Menerapkan kebijakan baru yang disebut Landrent-system (sistem pajak tanah), upaya ini
ternyata gagal karena tidak adanya dukungan dari para bupati (pemerintah secara langsung
mengawasi tanah-tanah, hasilnya dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati)
serta belum dikenalnya system ekonomi uang dalam masyarakat pedesaan Indonesia
- Menemukan bunga Rafflesia arnoldi, perintis 'Kebun Raya Bogor' dan penulis buku
'History of Java'
e. Johanes van den Bosch
- Mengusulkan sistem Tanam paksa (cultuurstelsel) 'sistim budidaya tanaman (tertentu)',
dilaksanakan dalam upaya menyelamatkan keuangan Belanda yang defisit akibat perang
Diponegoro
- Meskipun aturan Tanam paksa sudah dibuat bagus, tetapi tetap terjadi penyimpangan, terutama
karena adanya cultuurprocenten (pemberian bonus bagi penyetor yang mampu melebihi target)
Para tokoh penentang Tanam paksa adalah:
1. Baron van Hoevell; pendeta yang menjadi anggota parlemen Belanda
2. E.F.E Douwes Dekker; menulis buku 'Max Havelaar'
3. Fransen van der Pute; menulis 'Zuicker Contracten'
- Tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, mulai dari lada (1860), kemudian teh dan
nila (1865), akhirnya hampir semua jenis tanaman (1870), kecuali tanaman kopi di Priangan.
Setelah dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan baru (kebijakan politik liberal) yang lebih dikenal dengan 'Politik Pintu Terbuka', membuka kesempatan pada piak swasta (asing) untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang bertujuan untuk melindungi hak milik petani atas tanahnya. Adapun isi pokok UU Agraria Tahun 1870 adalah:
- Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah milik pemerintah (dapat disewa max 75 tahun)
- Tanah milik pemerintahan antara lain: hutan yang belum dibuka, tanah milik adat, dan lainnya.
- Tanah milik penduduk, semua sawah, ladang dan sejenisnya (dapat disewa pengusaha swasta
selama 5 tahun).
Artikel: Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia
Comments
Post a Comment